Senin, 07 April 2008

SIMBOL-SIMBOL LITURGI

SIMBOL-SIMBOL GEREJAWI DALAM LITURGI[i]

1. TOGA, BEF, CLERGICAL COLLAR & STOLLA

Kebanyakan gereja-gereja Kristen di Indonesia mengenal semacam Pakaian Jabatan, yang mereka ambil-alih dari Gereja-gereja partner mereka di Barat. Bentuknya hampir sama semacam toga (= gaun) hitam, yang dipakai dengan “bef” (dasi putih) dan dengan atau tanpa stolla (= kain atau pita lebar dan panjang). Fungsinya tidak begitu jelas. Tetapi dalam praktik Gereja-gereja ini, secara sadar atau tidak sadar menganggapnya sebagai Pakaian Jabatan atau Pakaian Liturgis resmi. Oleh karenanya, setiap orang yang memangku jabatan gerejawi harus memakai pakaian jabatannya pada saat ia melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal ini hanya berlaku bagi Pendeta. Bagi Penatua dan Diaken yang umumnya dianggap “kurang setara” dengan Pendeta dibebaskan dari kewajiban di atas.

Pakaian Jabatan ini telah lazim dalam Gereja-gereja Kristen Katolik dan Kristen Protestan Reformasi, sehingga tidak dirasakan lagi sebagai barang/tradisi asing diimpor dari Barat. Namun demikian, pada beberapa dasawarsa terakhir ini ada gereja, antara lain GPIB, yang tidak puas lagi dengan bentuk pakaian jabatan ini dan hendak menggantikannya dengan bentuk lain. Sayangnya, ketidakpuasan para pemimpin gerejawi di GPIB ini lebih banyak disebabkan alasan-alasan kultural dan bukan alasan teologis. Dengan sosialisasi/lokakarya ini, GKSBS ingin meninjau masalah ini dari sudut pandang teologis yang nantinya bermuara pada pengambilan keputusan sekaligus pendirian GKSBS dalam soal ini.

A. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan

Jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan. Pelayanan-pelayanan khusus pada waktu itu memakai pakaian-pakaian biasa, seperti yang dipakai oleh anggota jemaat awam, yaitu pakaian Yahudi, pakaian Romawi dan pakaian Yunani.

Pada tahun 380 agama Kristen resmi menjadi Agama Negara. Kaisar Theodosius mengangkat para Klerus (Pejabat Gerejawi pada saat itu) setara dengan Pejabat Pemerintahan. Mereka mendapat fasilitas istana, pakaian jabatan, tongkat, cincin dan tanda kebesaran lain. Dalam ibadah, mereka memakai pakaian khusus (= pakaian liturgis ), yang berbeda dengan pakaian anggota jemaat yang lain. Pakaian khusus ini kemudian berkembang menjadi Pakaian Jabatan Gerejawi yang indah dan mewah, seperti yang masih dipakai sampai sekarang oleh para Klerus dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Yunani.

Bentuknya berbeda-beda, yang satu lebih indah dan lebih mewah daripada yang lain. Juga jumlahnya tidak sama. Untuk perayaan Ekaristi umpamanya, Imam Gereja Ortodoks Yunani lebih banyak memakai “pakaian liturgis” daripada Imam Gereja Katolik. Semuanya tidak dapat dibahas di sini. Sebagai contoh, Pakaian Jabatan dalam Gereja Katolik terdiri dari “amictus” (= kain bahu dari lenan, dihiasi dengan salib yang disulam dan diikatkan pada dada, di atas gaun-missa yang sebenarnya), “alba” (= kemeja dari lenan, panjangnya sampai di kaki), “stola” (= pita lebar yang dipakai di atas alba, panjangnya sampai ke lutut), “manipulus” (= pita sutera, tidak begitu lebar, digantungkan pada tangan kiri), “pluviale” (= gaun prosesi gerejawi, dahulu hanya dipakai oleh para Klerus rendah, kemudian juga oleh Klerus tinggi) dan “vesti sacerdotalis” (= gaun missa yang sebenarnya)/toga.

B. Para Reformator menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini

Para Reformator (Luther dan Zwingli) menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini, karena ia berhubungan erat dengan missa Gereja Katolik. Menurut mereka, Pakaian Jabatan an sich (pada dirinya sendiri tidak memiliki arti.

Sesuai dengan itu, Martin Luther (pada tahun 1524) menasihatkan supaya pejabat-pejabat gerejawi menjauhkan diri dari pakaian-pakaian indah dan mewah dan supaya mereka jangan menganggap pakaian yang mereka pakai lebih suci dari pada pakaian biasa yang lain. Luther berkata, bahwa Tuhan tidak lebih berkenan kepada Pejabat Gerejawi yang berpakaian jabatan daripada Pejabat Gerejawi yang tidak memakai pakaian jabatan.

Sikap Luther dan pemimpin-peminpin yang lain pada masa itu tentang pakaian jabatan tidak begitu radikal. Sampai dengan tahun 1536 pelayanan Perjamuan Kudus tetap dilaksanakan dengan mengenakan Pakaian Jabatan ala Katolik. Tetapi Luther beranggapan, bahwa “lelucon yang suci” itu lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya.

Pada tahun 1523, ketika Martin Luther berkotbah di Wittenberg, ia memakai gaun doktornya (Toga Hitam), yang akhirnya lembat laun menjadi terkenal di seluruh Jerman, Perancis dan Swiss. Bahkan di Nederland, Pendeta-pendeta Protestan menggantikan Pakaian Jabatan Gereja Katolik dengan Toga hitam yang disebut Tabberd.

Akhirnya, pada pertengahan abad ke-17 penggunaan Pakaian Jabatan dalam Gereja Protestan telah habis sama sekali. Tetapi masalah baru timbul tatkala disadari banyak keluhan yang muncul terhadap pakaian yang dikenakan oleh Pendeta-pendeta Protestan. Banyak Pendeta Protestan yang mengikuti pergantian mode pakaian dan memakai rupa-rupa variasi dari gaun (rok) dan leher baju Perancis. Mereka memakai rambut palsu atau topi. Banyak juga Pendeta yang memakai pakaian parlente (gagah) dan lebih “duniawi” dan “gila mode” daripada anggota jemaat biasa. Hal inilah yang kemudian mendorong Gereja-gereja kembali menggunakan Pakaian Jabatan Resmi bagi para Pendetanya.

Dari Nederland, tabberd atau toga ini diexpor ke Indonesia. Hal ini kemudian diikuti oleh badan-badan Zending lain dari Jerman, Swiss dan Amerika sehingga pada gilirannya kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia telah mempunyai semacam Pakaian Jabatan, yaitu toga hitam.

C. Pakaian Jabatan : Suatu Tinjauan Kritis-Teologis

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut beragam. Pada abad pertengahan, pengunaan pakaian jabatan adalah suatu keharusan, karena pada waktu itu masing-masing golongan mempunyai pakaian khasnya sendiri-sendiri. Para perwira memakai pakaian indah dari satin dan beludru, orang-orang desa berbeda pakaiannya dengan orang kota, penembak dan pedagang juga memakai pakaian khas. Hal itu nampak dalam lukisan-lukisan produk masa itu. Apabila kemudian ada toga sebagai Pakaian Jabatan bagi Pendeta, maka patutlah disadari bahwa pakaian itulah yang paling tepat pada masa itu sebagai pembeda dengan golongan-golongan yang ada pada masa itu. Maka dalam lukisan para reformator dan pengkotbah pada masa itu, mengenakan toga.

Setelah toga dikhususkan bagi Sarjana dan Magistrant, maka toga Pendeta digantikan dengan pakaian lain, yaitu rok, bef, mantel, celana pendek dengan gesper. Motivasi yang melatarbelakangi sebenarnya bahwa Pakaian tersebut dipandang lebih gagah dari segala penemu mode pakaian. Tetapi kemudian, pada tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa Toga harus kembali dipakai oleh para Pendeta.

Menururt Faber, persoalan Pakaian Jabatan kurang ditinjau dari sudut pandang Teologis. Menurutnya, Pakaian Jabatan tidak memiliki kuasa penyelamatan. Tetapi, penyia-penyiaan Pakaian Jabatan dapat bersumber pada sesuatu yang kurang beres. Dan justru hal inilah yang seharusnya diselidiki. Menurut Faber, reformasi Martin Luther tidak meniadakan Pakaian Jabatan, ia memberikan kebebasan penuh bagi pengikutnya dan Gereja untuk menentukan sikapnya terhadap Pakaian Jabatan.

Menurut Faber, pakaian bahkan tiap-tiap pakaian memiliki bahasanya sendiri. Itulah rahasia mode. Maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam hati seseorang dapat kita ketahui dari pakaian yang dikenakannya. Antara Psikhe dengan pakaian memiliki hubungan yang erat. Bukan manusia saja yang memakai pakaian, tetapi pakaian juga memakai manusia. Demikian juga, pakaian memiliki pengaruh sugestif atas daerah sekelilingnya, dalam hal ini atas jemaat. Itulah sebabnya, Gereja selama masih mempunyai “jabatan”, tidak dapat membebaskan dirinya dari Pakaian Jabatan. Dari sinilah Calvin merekomendasikan warna hitam untuk toga. Tetapi tepatkah warna hitam untuk Pakaian Jabatan Gerejawi?

D. Pakaian Jabatan : Apa Warna Yang Paling Teologis?

Benarkah secara teologis, Pakaian Jabatan berwarna hitam? Bukankah warna hitam menyebabkan Perayaan Perjamuan Kudus sering kali bergeser; tidak lagi dihayati sebagai sebuah perayaan tetapi lebih sebagai perjamuan duka? Bukankah warna ini ikut menggeser dasar pengajaran Gereja, bahwa kematian Kristus harus disambut bukan dengan kesedihan, tapi sebagai berita kesukaan? Apakah Toga hitam cukup menginsafkan Gereja-gereja kita akan sifatnya yang rohani? Tentu tidak. Warna hitam saja telah membuat kita agak takut. Lain dari pada itu, pakaian Toga hitam adalah pakaian Sarjana dan Magistrat. Ia adalah pakaian akademis yang telah masuk ke dalam gereja, karena ia dianggap gagah. Toga hitam yang adalah pakaian hakim telah menyebabkan ibadah Minggu terkesan sebagai ruang pengadilan, dan bukannya ruang persekutuan hangat satu keluarga, yaitu persekutuan anak-anak Allah Yang Maha Pengampun.

Dengan demikian, warna hitam tidak cocok untuk Pakaian Jabatan. Memang kotbah adalah uraian ilmiah (akademis-ilmiah) tapi paling maksimal ia hanya dapat dipertahankan untuk pemberitaan Firman. Tidak cocok untuk pelayanan Sakramen. Warnanya yang hitam tidak cocok dengan sifat perayaan itu. Maka warnanya harus diganti dengan warna lain. Misalnya putih, merah muda atau ungu.

E. Pakaian Jabatan : Bagaimana dengan Penatua dan Diaken?

Pernah terjadi di Amsterdam diberlakukan Pakaian Jabatan bagi Pendeta, Penatua dan Diaken. Menurut Kuyper, pakaian jabatan tidak boleh berbeda. Jika tidak demikian, akan tercipta hierarkhi dalam gereja: Pendeta dengan toga lengkap, Penatua dengan toga setangah lengkap dan Diaken dengan toga seperempat lengkap. Karena itu, perlu dibuatkan juga pakaian jabatan untuk Penatua dan Diaken.

2. SAKRAMEN[ii]

Skramen adalah tanda kelihatan yang menunjukkan anugerah yang tidak kelihatan. Karya Yesus Kristus-lah yang dilambangkan dalam sakramen itu. Dalam hidup, kematian dan kebangkitan-Nyalah menjadi nyata bagi umat manusia akan anugerah dan keselamatan bersumber pada Allah. Sakramen adalah suatu tanda lahiriah (Symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji dan kasihnya kepada kita. Sakramen adalah tanda lahiriah realitas rahmat Allah yang kita sambut. Meskipun Firman Allah sudah cukup jelas dan pasti, akan tetapi iman kita sering terombang-ambing dan mudah goyah, maka kerahimanNya yang tidak bertepi menyesuaikan diri dengan daya paham kita sehingga Ia tidak berkeberatan bila kita menggunakan simbol yang memakai unsur bendawi, yang membawa kita kepada kedalaman cintaNya yang misteri.

Sakramen dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya jika ada guru batin, yaitu Roh Kudus. Hanya karena kekuatan Roh Kudus itulah hati kita tertembus serta perasaan kita tergerak dan melalui sakramen terbukalah pintu jiwa kita.

A. Baptisan

Orang yang akan menerima baptisan tidak harus memahami sungguh-sungguh arti baptisan yang diterimanya. Sebab bukan iman dan pengertian kita yang mendalam tentang baptisan yang membuat baptisan efektif, melainkan janji Allah. Baptisan adalah tanda ditetapkan Allah untuk memateraikan janjiNya.

Baptisan membawa seseorang untuk masuk ke dalam kesatuan dengan Kristus. Dengan baptisan inilah kita dipersatukan dengan keseluruhan Tubuh Kristus. Oleh karenanya, dalam tradisi gereja mula-mula, setelah seseorang dibaptis, maka ia boleh ikut Perjamuan Kudus. Baik ia masih kecil atau sudah dewasa secara umur. Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah tak terpisahkan. Mulai abad ke-4, ritus baptisan dianggap sebagai eksorsisme dilanjutkan dengan peminyakan, penumpangan tangan dan kemudian Perjamuan Kudus. Tetapi sebelum itu, seseorang yang sudah dibaptis boleh mengikuti Perjamuan Kudus.

Baptisan merupakan tanda dan bukti pembersihan dosa kita, baptisan seumpama pemberian surat bermaterai yang menegaskan kepada kita bahwa segala dosa kita sudah dihapus dan ditiadakan sedemikian rupa hingga tidak bakal muncul lagi dihadapanNya.

Air baptisan melambangkan kubur dan rahim. Hidup lama telah berlalu (mati) dan hidup baru dimuliakan (lahir). Dengan kata lain, lahir baru atau hidup baru.

B. Perjamuan Kudus

Secara teologis, seseorang yang sudah dibaptis layak dan boleh ikut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Anak-anak yang sudah layak dibaptis, (karena orang tuanya mampu melihat janji Allah dengan mata imannya) adalah anak-anak yang sudah layak ikut Perjamuan Kudus.

Perayaan iman Kristen dimulai dari peristiwa Paskah. Yesus bangkit dari kematian dan mengalahkannya. Gereja tidak hanya dipanggil untuk memberitakan kebangkitan Kristus kepada dunia tapi juga menghadirkan kembali peristiwa keselamatan itu hingga menjadi aktual di sini dan kini. Hal itu diwujudkannyatakan dalam perayaan Perjamuan Kudus. Yesus merelakan tubuh dan darahNya untuk keselamatan manusia.

Makna Perjamuan Kudus adalah: (1) Tindakan berbagi satu persekutuan. Di dalam Perjamuan Kudus, persekutuan yang erat diaktualisasikan, baik persekutuan sebagai sesama Tubuh Kristus maupun persekutuan Tubuh (jemaat) dengan kepalaNya (yaitu Kristus Tuhan). Menurut Calvin; makan secara jasmani dalam Perjamuan Kudus menunjukan makan secara rohani untuk penguatan jiwa karena dipersatukan dengan Kristus. Kita betul-betul menjadi satu dengan tubuh dan darahNya. (2) Perjamuan Kudus adalah perayaan-pengingatan (anamnesis) kabar keselamatan bukan hanya diproklamirkan tetapi sungguh menjadi nyata. Apa yang dialami para murid pada malam Perjamuan Terakhir itu kita hadirkan kembali di sini dan kini. Apa yang diharapkan para murid dulu dan di sana, sekarang kita harapkan lagi kini dan di sini. (3) Perjamuan Kudus juga adalah suatu eschaton yaitu suatu pengharapan bahwa Perjamuan Kudus itu akan dilanjutkan dalam Perjamuan dengan Tuhan di KerajaanNya yang kekal.

3. KAIN-KAIN WARNA LITURGIS[iii]

Warna-warna gerejawi telah lama digunakan dalam ruang ibadah kita, terutama untuk taplak meja, kain di mimbar (antependium), kain panjang di kayu salib (stolla besar) dan stolla yang dikenakan Pelayanan Gerejawi. Gereja memakai kain dalam warna-warna yang bergantian sesuai kalender gerejawi.

  1. Putih

Adalah lambang dari warna terang, cahaya lilin, warna bagi peran malaikat Allah, para kudus dan warna bagi Kristus yang dimuliakan. Warna yang melambangkan kekudusan dan kebersihan. Oleh sebab itu warna ini digunakan dalam masa raya yang berkenaan dengan Kristus, misalnya Natal, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus, dan masa raya kesukaan misalnya dalam pelayanan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Digunakan juga dari masa Natal sampai Minggu sebelum Epifania (6 Januari) dan hari raya Paskah hingga sebelum minggu Pentakosta.

  1. Ungu (lebih tepatnya violet)

Adalah warna tergelap dalam warna gerejawi yang menunjukan penyesalan dan pertobatan yang sunggu-sungguh. Digunakan pada masa 40 hari sebelum Paskah (Minggu sengsara) dan masa-masa menjelang Natal (Minggu Adventus).

  1. Merah

Adalah warna api. Lambang Roh Kudus yang penuh kekuatan. Maka digunakan pada Perayaan Pentakosta. Warna merah juga melambangkan warna darah, kesetiaan sampai mati, iman yang berapi-api sehingga digunakan dalam peringatan Reformasi, penahbisan rumah ibadah, sidhi, peneguhan Pendeta, Diaken dan Penatua. Juga pada peringatan hari Pekabaran Injjil, pengutusan pengijil dan hari-hari raya ekumenis.

  1. Hijau

Adalah warna komplemen dari merah. Melambangkan penyembuhan, ketenangan dan pertumbuhan iamn. Merupakan warna pengharapan. Hijau memberitakan kemurahan hati, keselamatan dari Allah yang menyembuhkan dan memperbaharui. Digunakan pada hari Minggu Trinitas (Minggu pertama sesudah Pentakosta, kecuali masa sengsara, adventus, dan hari raya Kristen lainnya.

5. Merah Muda

Rose, adalah perlemahan dari violet (ungu tua), lambang penyesalan dan pertobatan yang tertahan. Maksudnya, sengsara boleh sementara waktu digantikan dengan senyuman dalam menyongsong Natal dan Paskah. Digunakan pada Minggu adventus ke-3 dan Minggu sengsara ke-5.

6. Hitam

Adalah warna liturgis yang paling kuno. Lambang keputusasaan. Warna ini sudah tidak dipakai lagi. Perlu juga dipertanyakan tentang warna liturgis yang dikenakan Pendeta yaitu Toga hitam. Pemberitaan firman adalah pemberitaan Kristus yang telah menang, sudah selayaknya mereka dibebaskan dari warna kedukaan. Bahkan dalam pelayanan duka (misalnya pelayanan pemakaman jenazah) sekalipun, sebenarnya warna violet lebih baik daripada hitam, karena kita sudah diperbolehkan hidup dalam kemenangan Kristus.

4. SIMBOL-SIMBOL DALAM PELAYANAN NIKAH

Pernikahan adalah perkara sosiologis dan sekaligus teologis. Sahnya pernikahan bukanlah ketika mereka mengikrarkannya dalam ibadah, melainkan ketika kedua mempelai mengikrarkannya di hadapan orang tua, para saksi, Majelis Gereja dan Pendeta (biasanya dilaksanakan di Konstituri).

Dalam pelayanan Nikah, terdapat beberapa symbol yang digunakan. Simbol ini digunakan untuk menerangkan arti khusus sbb:

a. Simbol berjabat tangan dalam pengucapan janji nikah.

Melambangkan kesungguhan, komitmen dari sepasang kekasih untuk hidup bersama dengan kesetiaan.

b. Cincin Pernikahan

Adalah symbol pemberian cinta murni yang tidak berkarat yang diberikan oleh seorang suami kepada istrinya dan dari seorang istri kepada suaminya. Lingkaran cincin yang tidak memiliki akhir adalah lambang cinta cusi tersebut tidak memiliki arti dan berlaku sepanjang hayat.

c. Peneguhan Nikah dan Berkat dalam Pernikahan

Peneguhan dan bukan pengesahan nikah, dilayankan Gereja karena di Gerejalah tempat Allah menyalurkan berkatNya. Gereja dalah tempat di mana berkat Tuhan disalurkan. Gereja tidak menikahkan, tetapi meneguhkan pernikahan dengan berkat Allah yang disalurkan oleh Gereja. Pada prinsipnya, peneguhan nikah bukan dilakukan oleh manusia tetapi nikah diteguhkan oleh berkat yang tersedia di Gereja. Pernikahan di luar Gereja adalah sah, tapi tidak mendapatkan berkat Allah, akrena Allah menyampaikan berkatNya melalui pelayanan Gereja.

d. Pemberian Alkitab

Adalah symbol pentingnya Kitab Suci dalam hidup berumah tangga. Kitab Suci menjadi terang dan pelita bagi perjalanan hidup berumah tangga.

e. Pemberian Kain dan Beras

Kain dan beras adalah lambang pemberian berkat Allah secara jasmani.

f. Sungkeman

Adalah lambang penghormatan, ucapan terima kasih dan sekaligus berpamitnya kedua mempelai kepada orang tua mereka, untuk memulai hidup berkeluarga yang mandiri. Mereka telah membentuk keluarga baru

Catatan kaki :



[i] Tentang Pakaian Jabatan, tulisan ini banyak bergantung dan bersumber dari buku karangan DR.J.Lch. Abineno, Seputar Theologia Praktika I, BPK GM, 1968, hlm. 134-143.

[ii] Bagian ini adalah hasil rekomendasi Tim Liturgi GKSBS pada sidang Sinode GKSBS ke-7 di Belitang. Hasil rekomendasi Tim Liturgi disetujui oleh persidangan dan direstui untuk disosialisasikan. Sayang hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh MPS Periode Sidang VII. Segala referensi yang dipakai dapat dilihat dalam: Rekomendasi Liturgi GKSBS di masa Depan.

[iii] Juga dimuat dalam Sumber Air Hidup GKSBS 2006, halaman 53-54, dan 60.

Tidak ada komentar: