Kamis, 17 April 2008

DASAR THEOLOGIS

TEOLOGI LITURGI

I. PENGANTAR UMUM

Liturgi (sama dengan ibadah atau sembah kepada Allah) mengacu pada teologi (pemahaman dan penghayatan) akan Allah yang dihayati oleh suatu gereja. Kritis terhadap liturgi adalah kritis terhadap teologi yang dianut. Pada gilirannya kontekstualisasi liturgi adalah kontekstualisasi terhadap teologi dan kehidupan bergereja. Struktur (bangunan) teologi yang diyakini, akan membentuk bangunan liturgi.

Liturgi merupakan bagian yang penting dalam persekutuan (koinonia) umat. Persekutuan -–sebagai salah satu dari tritugas gereja-- tidak dapat dipisahkan dari dua aspek lain tritugas gereja, yakni pelayanan (diakonia) dan kesaksian (marturia). Dalam liturgi kasih Allah dirayakan (di-selebrasi-kan), baik dalam persekutuan (koinonia) maupun dalam aksi pelayanan (diakonia). Keduanya menyaksikan (marturia) kasih Allah pada dunia.

Dalam liturgi (dalam perayaan keselamatan), gereja merayakan perngenangan akan jati dirinya dalam sejarah. Dalam liturgi, gereja dapat mundur ke belakang, dihubungkan dengan masa lampau. Dalam liturgi, gereja ikut duduk bersama di antara murid pada malam Perjamuan terakhir, menerima perintah, merasakan solideritas kasih Allah, merasakan ancaman penderitaan yang akan dijalani Yesus di kayu salib. Dengan liturgi, masa lalu yang aktif kembali tersebut mendorong gereja untuk bertindak sekarang dan menuju ke masa depan.

Kontekstualisasi liturgi adalah suatu usaha bagaimana “perayaan-peringatan” keselamatan tersebut dialami dan aktual di sini dan kini sebagai keselamatan dan rekonsiliasi (pendamaian) antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia. Bagaimana ini dipahami?

1. Allah

Allah adalah kasih yang dalam kebebasanNya mau berbagi atau solider dengan manusia (dunia) yang menderita. Manusia menjadi “mengerti” akan sifat dan jati diri Allah tatkala menyadari akan keterhubungan solidaritas tersebut. Dan gambaran yang paling lengkap untuk menjelaskan keterhubungan solidaritas ini adalah salib dan penderitan. Dalam penderitaan salib, Allah benar-benar solider akan malapetaka dan derita manusia.

2. Manusia

Calvin melihat bahwa manusia demikian gelap dan hancur dalam kodratnya. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” (Roma 3:10-18). Situasi manusia seperti ini adalah situasi manusia yang disalibkan. Sebuah keberadaan manusia di mana kemanusiaan tidak dapat dilaksanakan. Tidak ada daya untuk menyelamatkan diri. Manusia hanya dapat berseru “Ya, Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaku” (Lukas 23:46). Maka solidaritas dan kasih sayang Allah adalah kunci dari semua.

3. Liturgi

Dalam dan melalui Roh Kudus, karya penyelematan dan keterhubungan solideritas Allah terus berlanjut dalam dunia milikNya. Gereja sebagai Tubuh Kristus menjadi tanda akan pemeliharaan dan solidaritas Allah yang senantiasa diperbaharui.

1. Liturgi adalah tindakan bersama Yesus Kristus (Imam Tertinggi, Kepala Gereja) dengan gerejaNya untuk keselamatan umat manusia dan pemulian Bapa di Sorga. Dalam liturgi, Kristus menyatakan kasihNya kepada gerejaNya sebagai tubuhNya. Dalam liturgi, gereja merealisasikan dirinya sebagai gereja Kristus.

2. Tindakan liturgi adalah tindakan yang komunikatif antara gereja dan Kepala gereja. Gereja pada dirinya tidak dapat memberikan keselamatan kepada dunia. Keselamatan hanya pada Allah semata. Gereja ada tidak untuk dirinya, namun mengabdi pada Kristus. Dalam tindakan liturgis karya Allah diingat dan dirayakan. Kata-kata yang mengandung praksis (aksi dan refleksi) gereja dulu dan kini dikomunikasikan. Akhirnya, liturgi menjadi tindakan yang sarat dengan makna, menjadi tindakan yang komunikatif untuk segala zaman. Liturgi adalah tindakan perayaan-pengenangan (selebrasi anamnesis) yang komunikatif.

II. TEOLOGI IBADAH HARI MINGGU

Ibadah hari Minggu bersumber dari sejarah para Bapa Gereja yang sangat tua dan kaya. Ibadah hari Minggu adalah perayaan Ibadah Paskah yang asli. Pada hari pertama minggu Yahudi, umat Kristen mula-mula berkumpul untuk merayakan kebangkitan Tuhan. Pada masa kemudian di akhir abad ke-2, yang dimaksud perayaan hari pertama dalam minggu itu tak lain adalah Paskah mingguan, yakni hari Tuhan, hari Tuhan Yesus bangkit. Setiap hari mereka berkumpul dan beribadah di Bait Allah di Yerusalem (Kis 2:46), di rumah-rumah ibadah diluar Yerusalem, dan di rumah-rumah tangga untuk memecahkan roti.

Hari Minggu mengacu pada peringatan kebangkitan Tuhan Yesus. Kebangkitan terjadi pada hari pertama minggu itu, yakni hari Minggu. Jadi bukan hari sabat sebagaimana yang sering dikira banyak orang Kristen sekarang!!! Pada hari kebangkitan (Minggu), terjadi pembaharuan kembali penciptan (rekreatio) melalui pemulihan kembali hubungan semesta dan isinya dengan Allah. Inilah pusat liturgi Kristen.

III. MAKNA TEOLOGIS UNSUR-UNSUR LITURGI

Peringatan (anamnesis) merupakan fakta yang sentral dalam liturgi. Layaknya gereja reformasi, maka struktur dasar liturgi harusnya memuat “Pemberitaan Firman” dan ”Perjamuan Kudus”. Perayaan Perjamuan Kudus merupakan wahana yang tak ada duanya di dalam perayaan-peringatan.

Calvin menegaskan bahwa sakramen memperteguh firman. Tanpa sakramen, firman dapat hanya menjadi pidato atau omongan dalam persekutuan belaka. Perjamuan Kudus memberikan tempat bagi kita untuk merayakan dan mengalami keselamatan dalam simbol-simbol yang kaya makna. Perjamuan Kudus memberikan kita tempat untuk berhadapan dengan roti dan anggur perjamuan, membantu kita untuk berefleksi (dan “bermeditasi”) terhadap kesolidaritasan Allah pada penderitaan sekaligus perlawanan terhadap kejahatan. Dalam perjamuan, dalam simbol-simbol yang kaya makna, Perjamuan Kudus berbicara dalam gerak penerimaan tangan kita, pendengaran kita, penglihatan kita, akal budi kita dan menembus cakrawala hati yang lebih luas, yang barangkali tidak dapat dicapai oleh khotbah!

Dengan tetap melaksanakan Perjamuan Kudus, kita tetap menjaga kontinuitas sejarah hari Minggu yang terkait erat dengan peristiwa Paskah, terkhusus peringatan kebangkitan Yesus. Dengan struktur liturgi yang merayakan dalam pengenangan, kita tidak hanya terpusat pada Pengakuan Dosa, Berita Anugerah dan Khotbah. Tetapi ibadah menjadi perayaan pembebasan, perayaan kemenangan, perayaan solidaritas Allah yang ditunjukkan dalam diri Yesus.

IV. SAKRAMEN BAPTIS KUDUS DAN PERJAMUAN KUDUS

A. SAKRAMEN

Sakramentum (Latin) dari bahasa Yunani mysterion, yang berarti misteri. Menunjuk pada tindakan penyelamatan Allah yang misterius, tidak dapat dimengerti (rahasia). Kristus sendiri sebenarnya misteri bagi kita. (“Allah kok manusia? Allah kok jadi manusia? Manusia kok anak Allah? Satu manusia mati kok manusia ditebus dosanya? dll.).

Sakramen adalah tanda kelihatan yang menunjuk pada anugerah (keselamatan) yang tidak kelihatan. Sakramen adalah tanda lahiriah (Latin: symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam hidup kita janji-janji akan anugerah-Nya terhadap kita. Sakramen dapat disebut sebagai suatu kesaksian tentang rahmat Allah terhadap kita, yang ditegaskan dengan tanda lahiriah dan yang dijawab dari pihak kita dengan pernyataan kasih dan kesetiaan kita kepada-Nya.

Sakramen memperteguh kepercayaan kita pada Firman Tuhan. Meskipun kebenaran dari Allah cukup terang dan jelas, namun iman kita tidak kebal dari godaan yang dapat menggoyahkan dan mengombang-ambingkan. Calvin mengatakan: “. . . maka Allah, dalam kerahiman-Nya yang tidak bertepi menyesuaikan dengan daya faham kita, sehingga Ia tidak berkeberatan bila kita dibimbing-Nya kepada diriNya justru dengan unsur-unsur bendawi.[1]

“Maka . . . , jika seseorang layak untuk mengikuti kebaktian Pemberitaan Firman, mengapa terkadang merasa tidak layak untuk mengikuti Perjamuan Kudus (sakramen)? Bukankah sakramen memperteguh iman dan pemberitaan firman?”

B. SAKRAMEN BAPTIS KUDUS

Sakramen Baptisan adalah sebuah tanda “perjanjian” yang ditetapkan Allah untuk memeteraikan janjiNya. Janji Allah itu berisi tentang: bahwa Ia berkenan “berdamai” dengan kita.

Peristiwa baptisan, adalah peristiwa di mana seseorang masuk ke dalam kesatuan dengan Kristus, diakui menjadi anak-anak Allah, menjadi bagian dari Gereja Kristus (Tubuh Kristus). Oleh sebab itu dalam tradisi gereja mula-mula, setelah seseorang dibaptis, maka ia juga akan menerima Perjamuan Kudus. Gereja mula-mula memandang bahwa Perjamuan Kudus adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Baptis.[2] Dua sakramen ini adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Baptisan merupakan tanda dan bukti pembersihan dosa kita. Baptisan seumpama pemberian surat bermeterai yang menegaskan kepada kita bahwa dosa kita telah dihapus, dan ditiadakan sedemikian rupa sehingga. Ini tidak dapat dilakukan oleh manusia. Baptisan menunjuk pada penyucian melalui pencurahan darah Kristus. Kristus sendiri, di dalamNya dan dengan perantara Roh Kudus. Maka kalimat yang paling tepat di dalam pembaptisan adalah : “Engkau dibaptiskan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.”

Air di dalam baptisan menjadi lambang penyuci dan pembersih. Dengan pembersihan dan penyucian dosa dalam karya penebusan, hubungan manusia dengan Allah dipulihkan. Yang telah dipulihkan itu mesti ditumbuhkan, maka air baptisan menjadi lambang dari sesuatu yang menumbuhkan dan menghidupkan.

Selaras dengan hal itu, air baptisan juga dapat bermakna sebagai “kubur dan rahim”. Kubur adalah kematian, sedangkan rahim adalah kelahiran. Baptisan adalah tanda dimatikannya (dikuburkannya) kita dari kehidupan lama (dosa), selanjutnya dilahirkan kembali oleh rahim untuk memasuki kehidupan baru. Sehingga, orang-orang yang telah dibaptis, masuk ke dalam gereja Kristus, adalah orang-orang yang telah hidup dengan kehidupan yang baru. [3]

Manusia dibaptis bukan karena prestasi imannya. Kematangan atau kedewasaan iman seseorang tidak menjadi prasyarat bahwa ia lebih layak dibaptis dari orang lain yang belum matang atau dewasa iman. Sebab bukan iman atau pengertian yang menjadikan baptisan efektif, tapi adalah janji Allah. Anak orang Kristen dibaptis bukan karena prestasi imannya, namun karena janji anugerah semata-mata dari Allah.

Demikian juga Perjamuan Kudus!

Kematangan, kedewasaan, pengertian, apalagi prestasi iman, bukan pra-syarat seseorang layak ikut Perjamuan Kudus. Sama seperti tidak adanya pra-syarat semacam itu untuk baptis anak! Karena semua adalah anugerah semata-mata!

Seperti janji Allah yang juga berlaku untuk anak-anak dan cucu Abraham yang harus bersunat, maka janji Allah juga berlaku bagi anak-anak orang Kristen. Orang tua Kristen sebagai orang yang telah menerima janji kasih Allah, harus menyertakan anak-anaknya dalam janji Allah itu. Orang tua Kristen wajib memasukkan anak-anaknya sebagai bagian dari perjanjiannya dengan Allah. Sehingga baptisan juga berlaku bagi bayi atau anak orang Kristen.

Di sinilah tampak inti INJIL, bahwa keselamatan --yang ditandai dalam BAPTIS dan PERJAMUAN KUDUS, itu bukan pahala atas prestasi iman manusia. Akan tetapi keselamatan adalah hadiah yang ditawarkan kepada kita oleh Kristus sebagai anugerah semata-mata.

Pada waktu baptisan, Kristus berjanji untuk selama-lamanya menjadi juru selamat kita. Maka baptisan ini juga sekali untuk selama-lamanya. Seseorang yang pernah dibaptis, jika ia masuk ke Gereja lain atau pindah gereja maka tidak perlu dibaptis lagi. Perbuatan membaptis ulang menunjukkan ketidakmengertian yang sangat mendasar akan hakikat baptis. Praktek pembaptisan ulang seakan-akan menganggap karya Kristus dalam baptisan yang pernah terjadi tidak ada. Ini adalah pelecehan terhadap karya keselamatan Kristus dalam baptisan. Karena janji yang sudah dibuat oleh Kristus bersifat kekal.

Jika bayi atau anak kecil yang kita baptiskan dikemudian hari menjadi dewasa, tentunya ia perlu menyatakan tanggapannya sendiri. Inilah yang disebut SIDI.

Apakah SIDI ?

Sidi adalah pengindonesiaan dari singkatan CD (dibaca ci-di). CONFETIO DEI (CD)[4], yang artinya pengakuan atau pengimanan akan Tuhan. Seseorang yang telah cukup dewasa, maka ia perlu mengakui Tuhan atau menyatakan imannya di hadapan orang banyak (gereja). Pengakuan ini berkaitan dengan peran dan tanggungjawabnya selayaknya orang Kristen yang dewasa, yakni orang yang diutus untuk BERSAKSI DAN MELAYANI. Dia adalah bagian dari gereja yang diutus oleh Allah di dalam dunia.

Jadi sidi sebagai perwujudan kedewasaan, bukanlah prasyarat, --bahkan tidak ada kait-mengaitnya dengan kelayakan seseorang-- untuk mengikuti PERJAMUAN KUDUS. Karena perjamuan kudus tidak disyaratkan dengan bahwa seseorang boleh ikut karena sudah dewasa.

C. SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS

Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah sakramen yang ditetapkan oleh Allah. Kedua Sakramen ini mendapat tempat yang setara dalam kehidupan Gereja. Sulit untuk mempertanggungjawabkan secara teologis jika gereja membolehkan seseorang untuk dibaptis tetapi tidak memperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Anak-anak yang telah layak dibaptis, maka pada saat yang sama juga layak untuk ikut dalam Perjamuan Tuhan.[5]

Perjamuan Kudus bagi anak-anak dalam gereja mula-mula (hingga abad 12) adalah hal yang biasa. Pada abad 11, Imam memasukkan jarinya ke dalam cawan minuman, lalu menaruhnya di bibir atau mulut bayi. Namun di Barat, kemudian tradisi ini menghilang. Hal yang menyebabkan adalah penekanan secara ekstrim pada ke-sakral-an dan ke-mistis-an Perjamuan Kudus. Bahkan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya, misalnya saat minum anggur jangan sampai anggur tumpah, karena akan mendatangkan dosa dsb. Pada saat itu, anggota Jemaat semakin takut untuk ikut Perjamuan Kudus.

1. Perjamuan Kudus adalah : PERAYAAN PENGENANGAN (anamnesis)

Iman Kriten dimulai dan berpusat pada paskah. Suatu peristiwa penebusan dan kebangkitan Kristus mengalahkan maut dan memperbaharui hidup segenap ciptaan. Gereja tidak hanya diminta untuk memproklamirkan kabar ini, tetapi diminta untuk menghadirkan kembali peristiwa keselamatan itu menjadi aktual di sini dan kini. Kabar keselamatan menjadi sangat nyata. Apa yang dirasakan, diharapkan, disaksikan oleh para murid pada Perjamuan Paskah terakhir itu diharapkan dihadirkan kembali (sekarang) oleh umat.

Dengan Perjamuan Kudus, Jemaat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kisah murid Tuhan. Bagaikan seorang anak, kita yang merayakan Perjamuan Kudus duduk di antara para murid yang mendapat perintah: “Lakukanlah…menjadi peringatan akan Aku…”

Perjamuan Kudus menunjuk pada keterhubungan solidaritas. Yesus pada malam yang mengerikan itu, rindu makan paskah dengan para murid-Nya untuk meneguhkan kasih, persahabatan, solidaritas di meja perjamuan. Yesus memulai ritus itu dengan mengucap syukur (Ibrani: berakha) dan memecah roti. Yang tak lazim pada pemaknaan roti dan anggur: “…kata-kata itu merupakan suatu nubuat dan janji tentang kehadiran-Nya, yang baru akan dimengerti kelak pada Perjamuan Kudus yang dirayakan pada masa-masa sesudah itu.”

2. Perjamuan Kudus adalah :

PERAYAAN KEERATAN KASIH KEPADA ALLAH DAN SESAMA

Perjamuan Kudus adalah tindakan berbagi sebagai suatu persekutuan. Perjamuan Kudus adalah peringatan akan aktualisasi jati diri gereja yang diutus ke dalam dunia untuk: “menyampaikan khabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebesan bagi orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orng buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas.” (Lukas 4:18). Dalam Perjamuan Kudus persekutuan yang sangat erat diaktualisasikan, baik dengan Allah, dan juga kepada sesama. Dalam perjamuan Kudus, gereja benar-benar memproklamirkan diri sebagai tubuh Kristus.

Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1 Kor. 10:16-17)

Calvin menegaskan, “Makan secara jasmani dalam Perjamuan Kudus menunjuk kepada makan secara rohani untuk penguatan jiwa karena dipersatukan dengan Kristus. Kita betul-betul menjadi satu dengan tubuh dan darah-Nya.[6]

Dalam 1 Korintus 11:17-34 Paulus menegur Jemaat Korintus karena punya perilaku buruk dalam melaksanakan Perjamuan. Ketika mereka berkumpul untuk makan perjamuan, mereka makan layaknya bukan makan Perjamuan Tuhan, tapi makan yang mengumbar nafsu. Yang datang terlebih dulu, maka dahulu memakan makanannya sendiri. Perut sendiri yang dipentingkan. Ada yang kekenyangan sampai mabuk, tapi yang lain (yang miskin, tidak punya makanan) kelaparan. Tidak terlihat kasih dalam saling berbagi rasa dalam hal menikmati Perjamuan Tuhan. Penekanan dalam hal untuk saling sedia berbagi dalam menyantap Perjamuan Tuhan itu ditekankan di awal dan di akhir perikop tersebut.

“Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu makan roti dan minum dari cawan itu “ (ayat 27-28)

Kata “tidak layak” dalam tekanan Rasul Paulus di sini (yang sering dikutip secara sepenggal dalam pratelan) adalah ketika Jemaat Korintus makan secara brutal dan penuh nafsu pada saat Perjamuan Kudus. Perjamuan Tuhan dilakukan, namun tindakannya (utamanya dalam makan dan minum) liar.

Jadi, ayat tersebut berbicara tentang perilaku yang tidak pantas dalam mengikuti Perjamuan Tuhan. Bukan suatu pra-kondisi, yakni kesucian batin sebagai prasyarat untuk ikut Perjamuan Kudus sebagaimana sering “dipathok” oleh gereja bagi warganya yang akan ikut Perjauman Kudus. Jika kesucian diri menjadi syarat, maka rasanya hampir tidak ada orang yang layak ikut Perjamuan Kudus. Rasanya justru anak-anak yang lebih layak. Bukankah mereka lebih polos, masih belum berpikir tentang korupsi, selingkuh, bisnis dengan curang, dll? Pengujian diri lebih berbicara soal kerelaan untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan dalam menyambut anugerah itu. Yang tentunya harus diwujudkan dalam berbagai aspek hidup, termasuk moralitas.

Tentunya juga diakui, bahwa Perjamuan Kudus harus mendorong dan menguatkan orang yang menikmatinya untuk punya moralitas dan perilaku hidup yang semakin memancarkan kasih.

Dan oleh Paulus sangat tegas menyatakan soal solidaritas. Yakni kasih yang nyata di-share-kan. (ayat 21, 22, 33, 34). Makan Perjamuan sangat mengindahkan tindakan berbagi dan solidaritas pada yang kelaparan dan miskin. Dalam tradisi Gereja perdana, setiap orang membawa persembahan (roti dan anggur) kemudian persembahan itu dibagikan pada saat perjamuan. Dan makan perjamuan tidak hanya bagi yang hadir, namun juga bagi yang tidak hadir: orang jompo, orang sakit, budak, orang miskin, gelandangan, dll. Perjamuan Kudus sangat kental dengan dimensi sosial.

3. Perjamuan Kudus adalah : PERAYAAN PEMELIHARAAN ALLAH

1 Korintus 11:17-34, memperlihatkan bahwa perayaan Perjamuan Tuhan adalah benar-benar dengan makan dan minum dalam arti yang sebenar-benarnya. Berkat keselamatan dari Allah adalah masalah rohani, sekaligus jasmani. Dalam perayaan Perjamuan Tuhan, berkat itu menjadi sangat nyata, dekat sekali dengan hal yang paling dasar dengan kebutuhan hidup manusia, yakni makanan dan minuman. Berkat Tuhan bukan hanya soal keselamatan jiwani -- masuk sorga, namun juga dalam wujud makanan dan minuman yang dapat dikecap dan rasakan.

4. Perjamuan Kudus adalah : suatu PERAYAAN PENGHARAPAN (eskaton)

“Sebab, setiap kali kamu makan roti ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (1 Korintus 11:26). Perjamuan Kudus meyakinkan kita bahwa masa depan tidak akan hilang. Pengharapan senantiasa ada bahwa suatu saat nanti kita akan makan Perjamuan Kudus dengan Tuhan dalam Kerajaan-Nya.

D. PERJAMUAN KUDUS BAGI ANAK-ANAK

Telah sekian ratus tahun gereja memberlakukan sebuah “undang-undang”: bahwa yang layak mengikuti Perjamuan Kudus adalah orang dewasa (anggota Jemaat Sidi) dan yang sedang tidak dalam penggembalaan khusus (siasat gerejawi). Anak-anak belum boleh. Alasan teologis tidak dapat dikemukakan. Alasan lebih kepada soal tradisi. Sehubungan dengan tradisi itu maka berbagai alasan dikemukakan, seperti : “…mereka ‘kan belum dewasa, jadi belum mengerti!” atau “….ketika dibaptis, iman mereka ‘kan masih ikut iman orang tuanya” atau “bagaimana pendadarannya bagi anak-anak, ‘kan mereka belum mudheng!” dll. Jujur kita akui, bahwa disadari atau tidak, alasan yang dibuat-buat ini telah membuat gereja menancapkan pagar diskriminasi terhadap siapa yang boleh atau tidak boleh menerima anugerah keselamatan lewat tanda sakramen! Kira-kira, dua ribu tahun yang lalu, apakah Yesus berpikir demikian juga ketika membuat ketetapan Perjamuan Kudus bersama-sama dengan murid pada waktu hampir ditangkap? Meskipun yang hadir pada saat perjamuan terakhir itu memang hanya orang-orang dewasa. ‘Wong peristiwanya juga peristiwa dramatis yang rasanya tidak mungkin diikuti juga oleh anak-anak.

Bagimanakah sesungguhnya Yesus menempatkan anak-anak? Bagian-bagian dalam Injil yang menggambarkan interaksi dan penerimaan Yesus terhadap anak di bawah ini perlu kita perhatikan. “Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalangi-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga.” (Mat 19:14, Lukas 18:16). “…Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Mrk 10:15).

Yesus sangat tegas dan jelas mengungkapkan, bahwa syarat seseorang untuk bisa menjadi bagian dalam anugerah keselamatan Allah (KERAJAAN ALLAH) bukan kondisi-kondisi tertentu seperti harus dewasa, harus mengerti/paham, apalagi harus pandai. Orang-orang dewasa dalam gereja yang membuat pagar eksklusif kelayakan penerimaan keselamatan yang ditandai dengan Perjamuan Kudus, sesungguhnya sama dengan para murid yang mencoba menghalang-halangi anak-anak yang mendekat kepada Yesus. Sehingga Yesus perlu membuka pikiran dan nurani mereka, bahwa anugerah cinta Allah-Kerajaan Allah, yang oleh Kristus ditetapkan di antaranya dengan sakramen Perjamuan Kudus-diundangkan oleh-Nya kepada siapa saja. Justru di sini kita melihat Ia memberikan apresiasi yang khusus kepada anak-anak, sekaligus menempelak orang-orang dewasa, yakni dengan mengatakan bahwa“….justru merekalah yang empunya Kerajaan Sorga…” Ada tamparan yang sangat keras dari Yesus kepada para murid saat itu.

Pemahaman yang belum melayakkan anak-anak sebagai pihak yang juga menjadi sasaran anugerah keselamatan Allah dalam Perjamuan Kudus adalah juga terkait dengan definisi atau pemahaman akan iman. Orang dewasa sering menciptakan batasan, menurut alur pikirnya sendiri. Menafikan pikiran anak-anak. Menurut kita bahwa bentuk keber-iman-an adalah adanya pengertian-pengertian dan kepercayaan tertentu yang dimiliki. Iman memang butuh pengertian, untuk bertumbuh, tapi pasti bukan pra-syarat. Iman juga ada di dalamnya soal kepercayaan. Tapi iman juga bukan hanya soal percaya atau tidak percaya. Dengan batasan tentang iman yang mensyaratkan soal kepercayaan dan pengertian, maka anak-anak di anggap belum beriman. Alangkah sombongnya para orang dewasa !!!

Kalau kita hadir di peristiwa Yesus memberkati anak-anak, lalu bertanya kepada Yesus,

Guru, apakah anak-anak itu sudah beriman kok dikatakan empunya Kerajaan sorga?” Apa jawaban Tuhan Yesus kira-kira? Mungkin Yesus akan menjawab: “Kalau beriman menurut pengertianmu mungkin belum…,tapi menurut pengertian mereka sudah. Dan itu cukup bagi-Ku. Dibanding kalian hai orang dewasa, merekalah yang lebih layak masuk ke Sorga…Kalau kalian tidak seperti mereka, kalian tidak dapat masuk sorga!!!”

Orang dewasa biarlah beriman bersama dengan kepercayaan dan pengertian-pengertian sendiri sebagai orang dewasa. Maka, biarlah anak-anak juga beriman dengan pengertian-pengertiannya sendiri. Masing-masing beriman dengan pengertiannya (sesuai dengan tingkat perkembangannya sendiri). Tingkat perkembangan psikologi yang semakin tinggi bukan otomatis tinggi pula imannya. Dalam tingkat perkembangan kejiwaan yang bagaimanapun : bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, lanjut usia, semua diundang oleh Yesus. Semua dapat duduk atau berdiri sejajar menyambut anugerah keselamatan Allah.

Sebagaimana setiap orang mendapat anugerah keselamatan dari Allah yang ditandai dengan Sakramen Baptis Kudus, maka layak dan boleh pula ia mendapat dan merasakan anugerah Allah yang dinyatakan dalam Perjamuan Kudus. Setiap orang yang sudah dibaptis, layak pula ikut Perjamuan Kudus.

E. PERJAMUAN KUDUS DAN SIASAT GEREJAWI
(PENGGEMBALAAN KHUSUS)

Telah sekian ratus tahun pula gereja melarang orang yang sedang dalam penggembalan khusus (Jawa: pamerdi) untuk ikut Perjamuan Kudus. Ketetapan itu bahkan dikukuhkan dalam undang-undang yang bernama tager-talak. Tapi pertanyaan yang harus mengusik kita adalah, “berhakkah gereja melarang seseorang untuk menerima rahmat Allah dalam Sakramen Perjamuan Kudus?” Atau dengan bahasa yang lebih dalam : “Sebagai lembaga yang punya kewibawaan rasuli, layakkah wibawa rasuli itu menentukan batasan kelayakan bagi orang untuk menerima anugerah keselamatan Allah?”

Dalam Injil Yohanes 8:1-11 diceritakan tentang ahli-ahli Hukum Taurat yang membawa seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berzinah kepada Yesus. Dengan dalih ingin menegakkan hukum Taurat, mereka ingin mengadili perempuan itu. Yesus tahu bahwa keadilan dalam hukum Taurat bagi perempuan berzinah adalah hukum rajam. Namun Yesus mengatakan, bahwa barangsiapa merasa tidak bedosa, maka biarlah ia yang melempar paling duluan kepada perempuan itu. Rupanya tidak ada yang berani mengatakan bahwa ia tidak berdosa.

Apakah tidak demikian juga jika gereja melarang orang yang -paling kotor moralnya sekalipun- ikut Perjamuan Kudus, maka sesungguhnya gereja sama dengan ahli-ahli Taurat yang merasa sebagai penegak hukum Taurat. Seorang pakar Pastoral Amerika, Seward Hiltner mengatakan: “Jika manusia harus memenuhi syarat tertentu (layak) agar dapat diterima oleh Allah, maka manusia tak akan pernah dapat melaksanakannya.”[7]

Gereja memang adalah persekutuan yang harus memperjuangkan dan mendorong anggotanya bermoral dan berperilaku baik. Karena ini di antaranya adalah tanda hidup baru. Moralitas dan perilaku yang baik dan benar pula pada gilirannya akan menjadi wujud kesaksian dan pelayanan setiap orang beriman. Selaras dengan itu, gereja juga adalah ‘persekutuan yang harus menyerukan suara kenabian baik ke dalam maupun ke luar.’ Firman diberitakan agar setiap orang yang mendengarnya diteguhkan jika lemah, didorong dan dibimbing jika perlu arahan, ditopang jika akan jatuh, ditegur jika salah, diluruskan jika keliru. Sebagai pewaris tradisi Calvinis, kita tahu betapa Calvin sangat menekankan hal ini.[8]

Tapi, agar fair mari kita lihat apa sesungguhnya penggembalaan khusus atau siasat gerejawi atau pamerdi. Penggembalaan khusus mesti dilihat dalam kerangka utuh penggembalaan (pastoral). Ada penggembalaan yang umum dan ada yang khusus.

Penggembalaan atau pastoral dapat didefinisikan: tindakan seorang pendeta, atau pastor, atau pejabat gerejawi, baik secara pribadi maupun bersama-sama, yang mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan atau bimbingan dengan seseorang atau sekelompok orang (Jemaat), agar dalam terang Injil dan persekutuan Gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman[9].

Definisi di atas seakan-akan men-subyek-kan pendeta, pastor atau pejabat gerejawi (sebagai gembala) dan meng-obyek-kan pihak lain (jemaat). Namun sesungguhnya tidak demikian. Kata kunci dalam penggembalaan adalah ‘saling’. Yakni interaksi yang dialogis, sejajar antara pihak-pihak. Peng-identifikasi sebagai gembala (yang menggembalakan) dan yang digembalakan lebih pada penekanan tuntutan peran dan fungsi masing-masing. Para gembala (dan peran yang sejajar dengan itu: rasul, nabi, pemberita, pengajar) berperan memperlengkapi jemaat bagi pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus (band. Efesus 4:11-12).

Bentuk penggembalaan itu melalui segala aspek kehidupan gereja: berbagai bentuk pemberitaan firman, berbagai bentuk pengajaran dan pembinaan, berbagai bentuk liturgi, bentuk-bentuk kesaksian, bentuk-bentuk pelayanan, bentuk-bentuk tindakan pastoral, dll. Pastoral tersebut sifatnya umum, kepada seluruh Jemaat. Inilah penggembalaan umum.

Akan tetapi ada hal-hal khusus yang kadang terjadi dan dialami oleh anggota jemaat. Bisa pribadi, keluarga, juga kelompok orang-orang. Secara khusus pula, ada yang sifatnya menyangkut moralitas atau perilaku tidak benar yang berimbas pada “sangsi gerejawi” tidak boleh mengikuti Perjamuan Kudus. Misalnya: pencurian atau korupsi, perselingkuhan asmara, pertengkaran, pembunuhan, percideraan, fitnah, pencemaran nama baik, dll. Inilah penggembalaan khusus.

Sejelek atau sejahat apapun orang yang sedang dalam penggembalaan khusus tersebut, mereka adalah pihak yang perlu ditolong secara khusus dan perlu perhatian khusus. Maka tindakan penggembalaan pun perlu khusus pula. Apapun langkah yang ditempuh, maka pada hakikatnya adalah agar dalam terang Injil dan persekutuan Gereja Kristus, mereka secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman. Di sini kita melihat bahwa fungsi Pastoral/penggembalaan adalah menguatkan, membimbing, memperbaiki, mengarahkan kepada kebenaran Injil.

Seperti sekawanan domba yang digembalakan oleh Yesus, ada yang sakit, maka Yesus justru memberikan perhatian dan perawatan ekstra. Jika yang lain cukup minum air, maka yang sakit justru diberi minum susu agar cepat pulih. Demikian juga jika di antara kawanan itu ada yang bandel, ingin membelot, ia perlu dipecut agak keras, agar kembali ke kawanannya. Jika tetap bandel, ia perlu diikat. Namun bukan terus tidak diberi makan rumput. Karena jika dihukum dengan tidak dikasih minum dan rumpat, ia akan mati.

Seperti domba, justru dalam keringkihan orang yang sedang digembalakan secara khusus, mereka memerlukan perhatian yang ekstra. Diarahkan untuk semakin dapat menghayati berkat dan kasih Tuhan.

Lalu…….ketika mereka justru dilarang untuk merasakan anugerah berkat kasih Allah dalam Sakramen Perjamuan Kudus, bukankah sama dengan semakin menjauhkan dan menghalangi mereka dari rahmat Allah? Gereja berhak memberitahukan mana yang benar dan mana yang salah. Namun gereja tidak berhak melarang dan menghukum. Kalaupun ada sangsi-sangsi kelembagaan karena seseorang sedang dalam penggembalaan khusus, wujudnya bukan dengan penghalangan untuk ikut menikmati undangan Perjamuan Tuhan. Gereja tetap harus membuka dan mengundangkan. Lain soal jika keberatan muncul karena refleksi mereka sendiri.

F. CATATAN PELAKSANAAN TATA LITURGI ANAK

I. LAGU PUJIAN

Lagu yang dipakai/dipilih pelayan dalam ibadah anak hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Penggolongan Lagu :

Lagu-lagu dalam ibadah berdasarkan isi syairnya dapat digolongkan sebagai berikut :


· puji-pujian kebesaran Allah,

· pertobatan/penyesalan

· tentang kasih Allah

· tentang suka cita

· persembahan

· kesaksian

· ketaatan

· pengutusan dll.

Berdasarkan tahun gerejawi dapat digolongkan sebagai beriku t:

· Advent

· Natal

· Pelayanan Yesus

· Paskah (sengsara, penyaliban, kematian, kebangkitan Yesus).

· Kenaikan hingga pentakosta.

2. Tema Pengajaran / Firman Tuhan :

Kegiatan menyanyi di Sekolah Minggu bukan kegiatan yang mengisi waktu saja, Semua yang dilakukan, termasuk menyanyi mesti diarahkan untuk saling mendukung. Maka lagu yang dipilih di antaranya harus dengan mepertimbangkan Tema pemberitaan Firman Tuhan yang disampaikan.

Adakalanya lagu-lagu yang isi syairnya yang sesuai dengan tema hanya sedikit, untuk itu beberapa lagu yang cocok tersebut yang mendapat penekanan, tentunya di samping lagu-lagu lain.

3. Golongan Usia :

Lagu-lagu dalam ibadah anak juga dibagi-bagi pula berdasarkan usia anak yang menyanyikan. Memang tidak ada pembagian yang tegas, namun kebutuhan akan lagu-lagu yang sesuai dengan usia juga perlu diperhatikan.

i.Usia 3-5 tahun

Syairnya pendek, gagasan di dalamnya dan sederhana

Interval nadanya sempit (2/3 atau ¾ oktaf)

ii.Usia 6-9 tahun

Syair lebih panjang, beragam,. Dengan gagasan yang agak luas

Jarak interval nada 1 oktaf.

iii.Usia 10-12 tahun

Syair lebih panjang, beragam, gagasan lebih dalam.

Jarak onterval nada 1,5 oktaf.

II. MEMIMPIN ANAK-ANAK BERNYANYI

Variasi dalam memimpin pujian:

· Bertepuk tangan

· Duduk dan berdiri

· Menyanyi bergantian

· Menyanyi secara kanon

· Menyanyi dengan memperagakan/menggerakkan tubuh

· Menyanyi di depan

· Dll.

III. ALAT BANTU (ALAT PERAGA) DALAM IBADAH

Ibadah/liturg anak adalah liturgi yang dilakukan dengan subjek anak-anak. Liturgi anak harus menolong anak yang melakukan liturgi itu mengalami perjumpaannya dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan itu akan terjadi jika anak merasa bebas dan dapat menghayati liturgi. Maka liturgi harus dilakukan dengan bahasa, baik verbal maupun visual yang membebaskan, memperhatikan kebutuhan dan dunia anak, tanpa mengabaikan “jiwa Liturgi” yakni perayaan kasih Allah kepada mereka.

Untuk itu, maka sarana, media, alat peraga, alat bantu, dalam liturgi sangat diperlukan. Alat peraga tersebut dapat dimanfaat secara fleksibel pada fase-fase dan unsur-unsur liturgi, utamanya dalam bernyanyi dan penyampaian firman Tuhan.

IV. PENYAMPAIAN FIRMAN

1. Pembacaan Alkitab

(Untuk anak-anak besar, mulai usia 12 tahun dapat dilakukan, namun untuk anak-anak di bawah usia tersebut tidak perlu pembacaan teks alkitab.)

2. Firman Tuhan diberitakan dengan cara :


· Cerita yang dibacakan

· Cerita yang menggunakan papan flannel

· Cerita yang didramakan

· Cerita yang dinyanyikan dan diiringi musik

· Cerita yang ditayangkan dengan OHP

· Cerita dengan pantomim, mimik dan bahasa tubuh lainnya

· Cerita dengan panggung boneka/wayang

· Cerita dengan rekaman kased tape atau vcd

· Cerita dengan tanya jawab

· Cerita dengan permainan simulasi

· Cerita yang dituliskan


3. Daftar Pokok-pokok Cerita Alkitab berdasarkan usia :

BALITA

Perjanjian Lama :

· Allah menciptakan dunia (Kej. 1:1,27,31)

Perjanjian Baru :

· Kelahiran Yesus (Luk 2:1-7)

· Gembala mendengar Khabar Baik (Luk 2:8-20)

· Yesus membantu Yusuf (Luk 2:39-40)

· Seorang Anak memberi ikan dan roti (Yoh 6:1-14)

· Yesus menolong anak Yairus (Luk 8:40-42, 49-56)

· Zakheus (Luk 19:1-10)

· Yesus mengasihi Ana-anak (Luk 18:15-17)

· Yesus ke Yerusalem (Mrk 11:1-11)

· Perjamuan Terakhir (Mat 26:17-20, 26-28)

· Yesus dibunuh musuhNya, tetapi Tuhan tidak membiarkan ia mati (dengan rangkuman sederhana, Mat 27:35, 57-60; 28:1-8),. Yesus menyiapkan makan pagi (tak usah diceritakan kapan terjadi, Yoh 21:1-13)

USIA 4-5 TAHUN

Perjanjian Lama :

· Banjir besar (penekanan cerita bukan pada dosa-dosa manusia pada waktu itu) Kej 6:14,19-22; 7:17; 8:10;9:15)

· Perjalanan Abraham (Kej 12:1-5)

· Miriam mengasuh adiknya (Kel 2:1-10)

· Rit mengasihi mertuanya (Rut 2)

· Samuel menolong Eli (! Sam 2:18)

· Salomo membangun Bait Allah (disadur dari 1 Raja-raja 5-8)

Perjanjian Baru :

· Maria akan melahirkan bayi (tidak menekankan keperawanan Maria karena anak usia seperti ini belum mengerti) Luk 1:26-38

· Orang Majus berkunjung (Mat 2:1-2, 9-11)

· Bayi Yesus dibawa ke Bait Allah (Luk 2:22-39).

· Yesus mengajar di Sinagoge (Luk 4:14-30)

· Yesus menghentikan angin ribut (Mrk 4::35-41)

· Domba yang hilang (Luk 15:3-7)

· Orang kusta yang bersyukur (Luk 17:11-19)

· Gereja yang pertama (Kis 1:4,5,13-14; 2:1-17,22-47).

USIA 6-8 TAHUN

Perjanjian Lama :

· Penciptaan (Kej 1:1-2:3)

· Menara Babel (Kej 11:1-9)

· Ishak lahir (Kej 21:1-7)

· Perjalanan Musa ((diseleksi dari Kel 1-20)

· Tuhan memanggil Samuel (1 Sam 3:1-10; 9-20)

· Daid dan Goliat (1 Sam 17:1-58)

· Daud dan Yonatan (diseleksi dari 1 Sam 19-20)

· Perempuan dan anaknya melayani Elia (1 Raj 17:8-15)

· Yeremia menjawab Tuhan (Yer 1:4-8)

Perjanjian Baru :

· Menyelamatkan bayi Yesus ke Mesir (Mat 2:13-23)

· Yesus di Bait Allah (Luk 2:41-52)

· Yohanes Pembabtis bercerita tentang Yesus (Mat 3:1-12)

· Yesus di babtis (Mat 3:13-17)

· Yesus mengalami pencobaan (Luk 4:1-15)

· Yesus memanggil murid-murid (Luk 5:1-11, Mat 9:35-10:8)

· Yesus menghadiri pernikahan (Yoh 2:1-12)

· Teman membawa orang lumpuh kepada Yesus (Mrk 2:1-12)

· Yesus menyembuhkan orang sakit (Yoh 5:1-15)

· Orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37)

· Maria dan Marta teman Yesus (Luk 10:38-42)

· Yesus mengajar tentang berdoa (Luk 11:1-4; Mat 6:7-15)

· Bapak yang mengampuni (Luk 15:11-32)

· Yesus menyembuhkan orang tuli (Mrk 7:31-37)

· Yesus dan pemungut cukai (Yoh 2:13-22)

· Tentang kebangkitan (Mat 28:1-10; Luk 24:1-12; Yoh 20:1-18)

· Filipus bercerita tentang Yesus (Kis 8:26-40)

· Perjalanan ke Damsyik (Kis 9:1-25)

· Lidia penjual kain (Kis 16:11-15)

· Gempa bumi di penjara (Kis 16:16-40)

USIA 9-11 TAHUN

Perjanjian Lama :

· Taman Firdaus (Kej 3)

· Janji Tuhan pada Nuh (Kej 6:5-9:17)

· Esau dan Yakub (Kej 25:20-34;32:3-31;33:1-4)

· Yusuf (Kej 37-47)

· Dobora, nabi dan hakim (Hak 4:4-23)

· Rut dan Naomi (Rut)

· Raja Daud (diseleksi dari 1 dan 2 Sam)

· Elia dan nabi-nabi baal (1 Raj 18:1, 17-45)

· Ratu Ester (Estr)

· Daniel di gua singa (Dan 6)

· Yunus yang melarikan diri (Yun)

Perjanjian Baru :

· Lahirnya Yohane Pembabtis (Luk 1:5-25, 57-76)

· Murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat (Mrk 2:23-28)

· Perumpamaan penabur (Mat 13:1-9,18-23)

· Yesus berjalan di atas air (Mat 14:22-33)

· Dua orang berdoa di Bait Allah (Luk 18:9-14)

· Lazarus (Yoh 11:1-44)

· Perumpamaan mengelola uang (Mat 25:14-30)

· Perempuan membasuh kaki Yesus (Luk 7:36-50)

· Perjamuan terakhir, Getsemani, penghakiman, penyaliban (Mat 26:14-27:66)

· Tomas akhirnya percaya (Yoh 20:19-29)

· Bersama teman ke Emaus (Luk 24:13-35)

· Pengorbanan Steafanus (Kis 6:8-8:1)

· Petrus lepas dari Penjara (Kis 12:1-19)

· Perjalanan Paulus (Kis 13-28).

Catatan :

7.1. Daftar di atas adalah daftar pokok pengajaran berdasarkan klasifikasi usia. Dengan daftar tersebut kita dibantu mengidentifikasi pokok cerita yang dapat dipilih sesuai dengan keadaan usia peserta ibadah anak. Namun dalam kenyataannya, banyak Gereja dalam penyelenggaraan ibadah anaknya tidak dapat dilakukan dengan memenuhi penggolongan yang ada tersebut di atas. Maka pemilihan pokok pengajaran (cerita) disarankan memilih dengan berdasarkan memperhatikan kelompok usia paling dominan di “kelas” ibadah tersebut. Lalu pokok pengajaran (cerita) disampaikan dengan memperhatikan variasi usia peserta ibadah tersebut.

7.2. Di samping hal tersebut, ada ibadah anak yang diselenggarakan dengan panduan kurikulum yang memang dirancang untuk penyelenggaraan ibadah anak. Namun di GKSBS secara umum tidak, karena GKSBS belum memiliki. Ada sedikit Jemaat yang secara kreatif mencari bahan pengajaran dalam Ibadah Anak di luar GKSBS.

V. BERDOA

7.3. Hal-hal yang harus terjadi dalam doa, di dalam ibadah anak:

  • Terjadi komunikasi dengan Tuhan.
  • Terjadi pengalaman dan perasaan sebagai orang yang punya relasi dengan Allah.
  • Terjadi pengalaman penghayatan persahabatan dengan Allah
  • Terjadi pengungkapan rasa hormat kepada Tuhan pencipta yang Agung.
  • Terjadi pengalaman kasih dan pengampunan Allah.

7.4. Pokok-pokok dasar berdoa dengan Anak:

  • Ungkapan pujian
  • Pengakuan kesalahan
  • Mengucap terimaksih
  • Permohonan

BERDOA DENGAN ANAK USIA BALITA – 5 TAHUN

  • Doa dilakukan dengan cara spontan
  • Tolonglah agar anak mengerti bahwa Tuhan bekerja melalui orang lain (Bapak, ibu dll.)
  • Pakailah bahasa dan cara-cara yang mudah difahami.
  • Jangan dengan kalimat panjang-panjang.

BERDOA DENGAN ANAK KECIL USIA 6-8 TAHUN

  • Ajak anak mengucap syukur dan memuji Tuhan
  • Anak belajar menyusun doanya sendiri
  • Dalam tata liturgy anak dapat berdoa secara berbalas-balasan
  • Sediakan waktu setelah berdoa untuk mereka mengungkapkan pendapatnya tentang apa yang baru saja didoakan.
  • Berikan pengertian pada anak akan pentingnya mohon pengampunan untuk kesalahan yang mereka lakukan.
  • Mohon pertolongan dengan menyebut secara jelas apa yang dibutuhkan.

BERDOA DENGAN ANAK USIA 9-12 TAHUN

  • Anak mulai membutuhkan doa pribadi.
  • Anak mulai dapat menghargai doa orang dewasa
  • Ajarkan bahwa doa dapat dilakukan dengan nyanyian.
  • Tekankan melalui doa relasi khusus dan dekat dengan Tuhan.

Mazmur Doa untuk anak kecil :


  • Mazmur 8:1a
  • Mazmur 9:1
  • Mazmur 9:2
  • Mazmur 30:12b
  • Mazmur 41:13
  • Mazmur 75:1a
  • Mazmur 104:1a
  • Mazmur 118:28a

Mazmur Doa untuk anak besar :


  • Mazmur 5:1-3
  • Mazmur 8
  • Mazmur 9:1-2
  • Mazmur 16:11
  • Mazmur 36:5-7
  • Mazmur 63:1-5
  • Mazmur 86:8-10
  • Mazmur 108:3-5
  • Mazmur 119:89-91
  • Mazmur 139:1-4

V. LITURGI PENGUCAPAN SYUKUR

A. CATATAN TEOLOGIS

Dalam PL sudah diceritakan bahwa umat Israel selalu mengadakan upacara-upacara keagamaan dan ibadah-ibadah khusus untuk memperingati suatu peristiwa khusus yang mereka alami. Ibadah bisa mengandung muatan pengucapan syukur, pengampunan dosa dan pendamaian antara manusia dengan Allah. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadah (untuk tujuan apapun) tidak pernah lepas dari kehidupan umat Israel saat itu.

Prinsipnya, ibadah yang dilakukan umat adalah “memberikan yang terbaik bagi Tuhan”. Itu sebabnya, ibadah-ibadah yang dilakukan dan disertai korban persembahan serta melantunkan mazmur-mazmur pujian merupakan unsur penting dalam ibadah sebagai peringatan akan kebesaran Allah

Sedang pemahaman tentang korban persembahan itu sendiri dalam PL melambangkan “penghormatan” dan “persekutuan”. Pada zaman pasca pembuangan, dinalar sebagai peristiwa yang mendampakkan pengakuan dosa yang lebih mendalam, sehingga pertobatan dan kesukacitaan juga merupakan ciri korban (Ezra 6:16-18; Neh. 8:9).

Unsur-unsur yang terdapat dalam liturgi pengucapan syukur (PL) adalah :

1. Korban Persembahan :

Berbagai jenis binatang dengan memperhatikan segi jenis kelaminnya (jantan lebih berharga daripada betina), umur, kematangan dan kesempurnaan (tidak bercacat). Bahkan dalam beberapa hal, segi warna juga diutamakan (merah melambangkan darah pengorbanan). Yang dihindari oleh umat Israel dan menimbulkan kontroversi saat itu adalah penghindaran dari pengorbanan anak sulung manusia dan menggantikannya dengan binatang.

2. Penuangan Minyak :

Penuangan Minyak (Kej.28:18), Anggur (Kej.35:14) dan Air (I Sam.7:6): Penggunaan unsur-unsur tersebut bertujuan untuk sedapat mungkin menggunakan adonan beragi, madu dan susu dalam mempersembahkan. Alasan yang paling masuk akal, karena bahan-bahan itu tidak awet dan mudah basi. Sedang kemenyan dianggap sebagai bentuk persembahan yang berdiri sendiri (Kel.30:7).

3. Waktu :

Peraturan yang ada meliputi, baik korban persembahan nasional maupun perorangan, peristiwa sehari-hari dan hari-hari raya. Kecuali korban persembahan umum/nasional yang bersifat musiman seperti Hari Raya Roti Tak Beragi, Hari Raya Menuai, dan Hari Raya Pondok Daun serta Paskah dan Pentakosta (Yosua 5:10-12). Sedang korban persembahan perorangan dapat dilakukan sewaktu-waktu, biasanya pada pagi atau sore hari.

Ibadah syukur dalam PB, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari ‘sakramen’, yang merupakan tanda yang kelihatan dari anugerah Allah yang tidak kelihatan. Sakramen tidak mungkin acak dan asing: “Ritus sakramen adalah aspek yang paling konservatif dari kehidupan religius suatu komunitas”. Mengulang-ulangnya berarti mengakui, menyatakan, menyelami dan mengalami suatu kebenaran yang diyakini bersama. Kebersamaan dalam drama kehidupan yang tulus menimbulkan kesadaran diri yang paling dalam.[10]

Maka tidak mengherankan jika dalam tradisi PB, perayaan-perayaan ibadah selalu disertai dengan sakramen, yang juga mengandung makna berbagi bersama dengan yang lain. Sekalipun itu dilakukan dalam sebuah keluarga bersama keluarga-keluarga yang lain. Istilah itu sekarang terkenal dengan sebutan ‘Bidston’

Unsur-unsur yang terdapat dalam Liturgi pengucapan syukur (PB) adalah:

1. Anamnesis : pengenangan dan peringatan akan perbuatan baik Allah.

2. Eucharistia : pengucapan syukur. Bisa diwujudkan dengan puji-pujian dan persembahan atau membagi-bagi makanan (Yesus setelah mengucapkan berkat, membagi-bagikan roti kepada semua yang hadir)-dilanjutkan dengan myspat dan tsadaqa.

3. Myspat dan Tsadaqa : keadilan dan kebenaran. Unsur ini sering dicirikan dengan makan dan minum bersama dalam sukacita bersama keluarga-keluarga dalam satu klan yang bertujuan pemulihan hidup, keadilan dan kebenaran.

4. Zerakh dan Syelamin: pengampunan dan pendamaian. Biasanya setelah unsur ini dilalui, lebih cocok bila dilanjutkan dengan upacara suka cita yang mencirikan kegembiraan dan rasa syukur (dulu umat Israel mewujudkannya dengan menari dan bergembira bersama)

5. Viaticum: “Bekal bagi mereka yang akan berangkat”. Maksudnya adalah penguatan dan persiapan untuk bersaksi sampai mati. Ibadah tidak hanya berhenti pada makan-minum dan bergembira bersama, tapi juga tidak melupakan tugas utama untuk berbagi dengan yang lain dan bersaksi baik kedalam maupun keluar komunitas.

B. BENTUK UMUM LITURGI PENGUCAPAN SYUKUR

1. Pembukaan : Bisa diawali dengan puji-pujian

2. Pembacaan Mazmur (bisa dengan dilantunkan atau dengan litany/perorangan): Mzr. 63:1-9; Mzr. 89: 1-16

3. Puji-pujian

4. Pengucapan syukur (baca Mazmur sesuai dengan tujuan ibadah)

5. Puji-pujian

6. Doa mohon pengampunan doa dan pendamaian (bisa disampaikan secara syafaat) atau membaca Mazmur 85:2-14

7. Anamnesis : Perenungan Firman Tuhan

8. Ekaristi : persembahan syukur (bisa dengan cara persembahan dan puji-pujian)

9. Doa-doa (sesuai tujuan)

10. Myspat dan tsadaqa: berbagi berkat dengan yang lain sebagai penghayatan akan pemulihan hidup, keadilan dan kebenaran yang telah dinyatakan Tuhan kepada manusia.

11. Viaticum: Pengutusan dan penguatan untuk bersaksi

Catatan :

Setiap unsur mengandung pujian pada sang Pencipta (Mazmur/lagu) dan sukacita yang penuh sebagai ungkapan rasa syukur (sekalipun tujuan ibadah adalah penghiburan bagi keluarga yang baru berduka). Khusus untuk yang terakhir perlu ada penjelasan teologis mengenai makna kematian dalam tradisi Kristiani dan harus dibedakan dengan tradisi /budaya lokal (mengenang yang telah mati secara terus-menerus).



[1] Calvin, Edisi terkutip, LITURGI GKSBS, Hasil seminar dan lokakarya tim Liturgi GKSBS. Hasil tersebut diterima dalam sinode VII GKSBS di Blitang.

[2] James White, A BRIEF HISTORY OF CHRISTIAN WORSHIP, Nashille, Abingdon Press, 1993, p.49

[3] Bandingkan II Korintus 5:17, Efesus 2:15, Efesus 4:24 dan ayat-ayat sejenis.

[4] Oleh orang banyak, pendeta atau guru katekisasi Jawa, sering dihubungkan dengan purnomo sidi.

[5] Yang sering jadi alasan mengapa hanya yang sudah sidi yang boleh ikut perjamuan kudus adalah: (1). Soal pengertian. Anak-anak tidak ikut Perjamuan Kudus karena dianggap belum mengerti makna Perjamuan Kudus. Masalahnya adakah dasar teologis yang mengatakan bahwa mengerti adalah syarat untuk menerima berkat dari Allah dalam Perjamuan Kudus?. (2). Soal persiapan/pendadaran/percakapan gerejawi menjelang Perjamuan Kudus. Ini berkaitan dengan kelayakan/kepantasan. Ini berkaitan dengan moralitas. Pertanyaannya pula: Apakah ada dasar teologis tentang kepantasan sebagai pra-syarat mengikuti Perjamuan Kudus.

[6] Calvin, Edisi terkutip, LITURGI GKSBS, Hasil seminar dan lokakarya tim Liturgi GKSBS. Hasil tersebut diterima dalam sinode VII GKSBS di Blitang.p. 10

[7] The Christian Sheperd: Some Aspects of Pastoral Care, New York, 1959.

[8] Calvin, semasa pelayanannya di Jenewa, ia membuat banyak peraturan-peraturan moral yang harus ditegakkan di kota Jenewa. Ia bercita-cita agar kota Jenewa menjadi kota yang ‘teokrasi’ ala Yerusalem. Tapi akhirnya Calvin frustasi dengan peraturan-peraturannya sendiri. Bandingkan, Runtut Pijar, Toni Lane, BPK GM, 1996, p.147-152

[9] Bandingkan dengan Heitink, G. : Pendampingan Pastoral Sebagai Profesi Pertolongan, dalam TEOLOGI DAN PRAKSIS PASTORAL, BPK dan Kanisius, 1992, p. 405